Teori
Perdagangan Internasional
1. Pandangan
Kaum Merkantilisme
Merkantilisme
merupakan suatu kelompok yang mencerminkan cita-cita dan ideologi kapitalisme
komersial, serta pandangan tentang politik kemakmuran suatu negara yang
ditujukan untuk memperkuat posisi dan kemakmuran negara melebihi kemakmuran
perseorangan. Teori Perdagangan Internasional dari Kaum Merkantilisme
berkembang pesat sekitar abad ke-16 berdasar pemikiran mengembangkan ekonomi
nasional dan pembangunan ekonomi, dengan mengusahakan jumlah ekspor harus
melebihi jumlah impor.
Dalam sektor
perdagangan luar negeri, kebijakan merkantilis berpusat pada dua ide pokok,
yaitu:
a. pemupukan
logam mulia, tujuannya adalah pembentukan negara nasional yang kuat dan
pemupukan kemakmuran nasonal untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuatan
negara tersebut;
b. setiap
politik perdagangan ditujukan untuk menunjang kelebihan ekspor di atas impor
(neraca perdagangan yang aktif). Untuk memperoleh neraca perdagangan yang
aktif, maka ekspor harus didorong dan impor harus dibatasi. Hal ini dikarenakan
tujuan utama perdagangan luar negeri adalah memperoleh tambahan logam mulia.
Dengan
demikian dalam perdagangan internasional atau perdagangan luar negeri, titik
berat politik merkantilisme ditujukan untuk memperbesar ekspor di atas impor,
serta kelebihan ekspor dapat dibayar dengan logam mulia. Kebijakan merkantilis
lainnya adalah kebijakan dalam usaha untuk monopoli perdagangan dan yang
terkait lainnya, dalam usahanya untuk memperoleh daerah-daerah jajahan guna
memasarkan hasil industri. Pelopor Teori Merkantilisme antara lain Sir Josiah
Child, Thomas Mun, Jean Bodin, Von Hornich dan Jean Baptiste Colbert.
2. Teori
Keunggulan Mutlak (Absolut Advantage) oleh Adam Smith
Dalam teori
keunggulan mutlak, Adam Smith mengemukakan ide-ide sebagai berikut.
a. Adanya
Division of Labour (Pembagian Kerja Internasional)
dalam
Menghasilkan Sejenis Barang Dengan adanya pembagian kerja, suatu negara dapat
memproduksi barang dengan biaya yang lebih murah dibanding negara lain,
sehingga dalam mengadakan perdagangan negara tersebut memperoleh
keunggulanmutlak.
b.
Spesialisasi Internasional dan Efisiensi Produksi
Dengan
spesialisasi, suatu negara akan mengkhususkan pada produksi barang yang
memiliki keuntungan. Suatu Negara akan mengimpor barang-barang yang bila
diproduksi sendiri (dalam negeri) tidak efisien atau kurang menguntungkan,
sehingga keunggulan mutlak diperoleh bila suatu Negara mengadakan spesialisasi
dalam memproduksi barang.
Keuntungan
mutlak diartikan sebagai keuntungan yang dinyatakan dengan banyaknya jam/hari
kerja yang dibutuhkan untuk membuat barang-barang produksi. Suatu negara akan
mengekspor barang tertentu karena dapat menghasilkan barang tersebut dengan
biaya yang secara mutlak lebih murah daripada negara lain. Dengan kata lain,
negara tersebut memiliki keuntungan mutlak dalam produksi barang.
Jadi,
keuntungan mutlak terjadi bila suatu negara lebih unggul terhadap satu macam
produk yang dihasilkan, dengan biaya produksi yang lebih murah jika dibandingkan
dengan biaya produksi di negara lain.
3. Teori
Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage) oleh David Ricardo
David
Ricardo menyampaikan bahwa teori keunggulan mutlak yang dikemukakan oleh Adam
Smith memiliki kelemahan, di antaranya sebagai berikut.
a. Bagaimana
bila suatu negara lebih produktif dalam memproduksi dua jenis barang dibanding
dengan Negara lain?
Sebagai
gambaran awal, di satu pihak suatu negara memiliki faktor produksi tenaga kerja
dan alam yang lebih menguntungkan dibanding dengan negara lain, sehingga negara
tersebut lebih unggul dan lebih produktif dalam menghasilkan barang daripada
negara lain. Sebaliknya, di lain pihak negara lain tertinggal dalam memproduksi
barang. Dari uraian di atas dapat disimpilkan, bahwa jika kondisi suatu negara
lebih produktif atas dua jenis barang, maka negara tersebut tidak dapat
mengadakan hubungan pertukaran atau perdagangan.
b. Apakah
negara tersebut juga dapat mengadakan perdagangan internasional?
Pada konsep
keunggulan komparatif (perbedaan biaya yang dapat dibandingkan) yang digunakan
sebagai dasar dalam perdagangan internasional adalah banyaknya tenaga kerja
yang digunakan untuk memproduksi suatu barang. Jadi, motif melakukan
perdagangan bukan sekadar mutlak lebih produktif (lebih menguntungkan) dalam
menghasilkan sejenis barang, tetapi menurut David Ricardo sekalipun suatu
negara itu tertinggal dalam segala rupa, ia tetap dapat ikut serta dalam
perdagangan internasional, asalkan Negara tersebut menghasilkan barang dengan
biaya yang lebih murah (tenaga kerja) dibanding dengan lainnya.
Jadi,
keuntungan komparatif terjadi bila suatu negara lebih unggul terhadap kedua
macam produk yang dihasilkan, dengan biaya tenaga kerja yang lebih murah jika
diban-dingkan dengan biaya tenaga kerja di negara lain.
4. Teori
Permintaan Timbal Balik (Reciprocal Demand) oleh John Stuart Mill
Teori yang dikemukakan oleh J.S. Mill sebenarnya melanjutkan Teori Keunggulan
Komparatif dari David Ricardo, yaitu mencari titik keseimbangan pertukaran
antara dua barang oleh dua negara dengan perbandingan pertukarannya atau dengan
menentukan Dasar Tukar Dalam Negeri (DTD). Maksud Teori Timbal Balik adalah
menyeimbangkan antara permintaan dengan penawarannya, karena baik permintaan
dan penawaran menentukan besarnya barang yang diekspor dan barang yang diimpor.
Jadi, menurut J.S. Mill selama terdapat perbedaan dalam rasio produksi konsumsi
antara kedua negara, maka manfaat dari perdagangan selalu dapat dilaksanakan di
kedua negara tersebut. Dan suatu negara akan memperoleh manfaat apabila jumlah
jam kerja yang dibutuhkan untuk membuat seluruh barangbarang ekspornya lebih
kecil daripada jumlah jam kerja yang dibutuhkan seandainya seluruh barang impor
diproduksi sendiri.
Perkembangan
Ekspor Indonesia
Dalam US$)
Sektor
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
Peran
Th.2011
(%)
|
I. MIGAS
|
22.088.567.876
|
29.126.274.355
|
19.018.296.911
|
28.039.599.534
|
41.477.035.636
|
20,38%
|
1. Minyak
Mentah
|
9.226.036.450
|
12.418.743.646
|
7.820.256.578
|
10.402.867.668
|
13.828.677.857
|
6,80%
|
2. Hasil
Minyak
|
2.878.751.078
|
3.547.001.209
|
2.262.327.715
|
3.967.277.194
|
4.776.854.837
|
2,35%
|
3.Gas
|
9.983.780.348
|
13.160.529.500
|
8.935.712.618
|
13.669.454.672
|
22.871.502.942
|
11,24%
|
II.NON MIGAS
|
92.012.322.875
|
107.894.150.047
|
97.491.729.170
|
129.739.503.936
|
162.019.584.424
|
79,62%
|
1.Pertanian
|
3.657.784.654
|
4.584.576.851
|
4.352.754.318
|
5.001.899.002
|
5.165.793.669
|
2,54%
|
2. Industri
|
76.460.827.880
|
88.393.495.928
|
73.435.840.877
|
98.015.076.416
|
122.188.727.150
|
60,04%
|
3.Tambang
|
11.884.904.619
|
14.906.165.178
|
19.692.338.644
|
26.712.581.107
|
34.652.027.382
|
17,03%
|
4.Lainnya
|
8.805.722
|
9.912.090
|
10.795.331
|
9.947.411
|
13.036.223
|
0,01%
|
TOTAL
|
114.100.890.751
|
137.020.424.402
|
116.510.026.081
|
157.779.103.470
|
203.496.620.060
|
100,00%
|
Tingkat Daya Saing
Daya
saing adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara, atau antar daerah
untuk menghasilkan faktor pendapatan dan faktor pekerjaan yang relatif tinggi.
dan berkesinambungan untuk menghadapi persaingan internasional (sumber : OECD).
Oleh karena daya saing industri merupakan fenomena di tingkat mikro perusahaan,
maka kebijakan pembangunan industri nasional didahului dengan mengkaji sektor
industri secara utuh sebagai dasar pengukurannya.
Tingkat
daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya amat
ditentukan oleh dua faktor, yaitu :
·
faktor keunggulan
komparatif (comparative advantage)
faktor keunggulan komparatif dapat
dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah
·
faktor keunggulan
kompetitif (competitive advantage).
faktor keunggulan kompetitif dianggap
sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan
(Tambunan, 2001).
Selain dua faktor tersebut, tingkat
daya saing suatu negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut
Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing
berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global
yang semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper Competitive.
Analisis Hyper Competitive (persaingan yang super ketat) berasal dari D’Aveni
(Hamdy, 2001), dan merupakan analisis yang menunjukkan bahwa pada akhirnya
setiap negara akan dipaksa memikirkan atau menemukan suatu strategi yang tepat,
agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada kondisi persaingan
global yang sangat sulit. Menurut Hamdy, strategi yang tepat adalah strategi
SCA (Sustained Competitive Advantage Strategy) atau strategi yang berintikan
upaya perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang mengkaitkan 5
lingkungan eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka pendek maupun
jangka panjang, dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan
sustainable real income secara efektif dan efisien.
Sumber
: